Sabtu, 21 Februari 2009

Tasawuf, Penentang dan Pendukungnya (Bagian 8)

SYARIAT DAN HAKIKAT
Dua kalimat yang sering terpakai dalam dunia tasawuf dan sering pula menimbulkan perdebatan yang tak habis-habisnya ialah syariat dan hakikat. Syariat adalah peraturan agama (diturunkan oleh Allah SWT kepada RasulNYA untuk dilaksanakan) yang bertalian dengan ibadah dan lainnya, yang diuraikan dan menjadi pembahasan dalam ilmu fiqh, bagi ahli sufi, syariah itu bukan sekedar tata cara dan peraturan belaka. Akan tetapi mereka melihat dan meniliknya dari segi yang lebih memantapkan dan mematrikan hukum itu dalam jiwa dan hati, sepintas lalu seolah-olah pandangan itu menyimpang dari ketentuan dan formalitas yang sudah ditetapkan oleh ilmu syariat atau fiqih.

Padahal bukan demikian adanya, ahli sufi berusaha mendalami agama yang terkandung dibalik syariah dari pada rahasia dan hikmahnya untuk menyempurnakan faedah dan kebaikannya kepada Allah. Sebab itu ulasan-ulasan ahli sufi terhadap ibadah, apakah berbeda nadanya dengan ahli fiqh?
Sebagai contoh : ahli sufi dalam mengulas dan membahas maslah Bab Sholat, tidak seperti biasanya ahli-ahli fiqh (dengan ahkam sholatnya) semata, tapi rahasia (asrar) sholat. Sebab dalam ungkapan terdapat soal-soal yang mudah seorang muslim yang membaca firman ilahi dalam al-Qur’an.
“Dialah yang awal dan yang akhir yang dhodir dan yang batin dan ia mengetahui tiap sesuatu. Dan kepunyaan Allah timur dan barat, kemana saja kalian menghadap, maka disitulah Allah berada.”
Maka seorang sufi tidak menambah suatu bila ia berkeyakinan dengan bulat, bahwa Allah itu azali dan abadi serta qodim bighairi makan wa zaman, mengetahui segalah sesuatu yang tidak ada yang lepas dari pengetahuanNya. Dan bahwa wujud yang sebenarnya adalah wujud Allah. Ia lebih dekat kepada manusia dari dirinya sendiri, karena ia ada di semua tempat, dan kepadaNYA segenap makhluk menyembah dan memuji.

Dan tidak ada satupun melainkan berbakti dengan memujiNYA, tetap kamu tidak mengerti cara menyucikan, bertasbih.
Contoh lain adalah kisah Musa dan Khidir a.s. yang terdapat dalam surat Al Kahfi ayat 60-82. Seorang muslim yang berbakat tasawuf dan gemar membahas tentang hikmah rahasia sesuatu, akan cukup menjumpai di sana dasar-dasar tasawuf.
Al-Qur’an membuka pintu kehidupan rohani bagi seorang muslim namun tidak menutup rapat-rapat kehidupan jasmani dan hajat hidup duniawi, dengan meninggalkan amalan usaha dan ikhtiar memutuskan hubungan dengan dunia dan alam sekeliling.
“Dan pergunakanlah kesempatan dalam karunia yang diberikan Allah kepadamu itu untuk (keselamatan) kampung akhirat, namun janganlah kamu abaikan kehidupan duniawimu. Dan berbuatlah kebajikan (kepada sesamanya), sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu. Lagipula janganlah kamu berbuat onar di muka bumi, karena Allah tidak menyukai orang yang gemar berbuat onar.” (Q.S 28:27)

Dengan demikian kehidupan rohani dalam Islam berjalan dalam garis tujuan dan kepentingan hidup manusiawi secara keseluruhannya. Dan dalam sejarah Islam sudah dikenal kelompok-kelompok rohaniawan yang memusatkan minat perhatiannya kepada aspek rohaniah semata-mata. Di zaman Nabi, yakni ahlusuffah dan kelompok sufi sesudah itu ada pula yang menekuni diri sebagai ahli fiqih di zaman Nabi, dan ada juga kelompok-kelompok lain. Maka semua itu tidak lain adalah bidang takhassus (spesialisasi). Dan itu bukan berarti usaha untuk melumpuhkan tuntunan dan pola hidup yang pokok dan esensial.
Bertakhassus (spesialisasi) dalam jurusan ilmu kedokteran saja misalnya tidak boleh dipandang melumpuhkan jurusan ilmu lainnya yang sama penting dalam menumpahkan seluruh minat dan bakat kepada satu jurusan. Dan satu segi kehidupan, tidak dapat diingkari atau disanggah, karena hal itu merupakan jalan untuk menempatkan segala bakat dan keahlian yang terpendam dalam diri manusia. Dan bakat yang berbeda-beda dan tidak mungkin dicapai hanya oleh seorang saja. Tidak mungkin tiap orang menjadi ahli sufi sejati. Dan tidak semua orang dapat dipaksakan selama manusia tetap berbeda bakat dan pembawaannya baik fisik maupun spiritual.

Sebagai ilustrasi, kalau semua orang menjadi petinju akan rusak kehidupan dalam masyarakat manusia ini, namun olahraga tinju harus ada dan sudah tentu ada pula ahli-ahlinya yang akan mengisi bidang itu, tentu bukan sembarang orang yang akan menggelutinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar