TASAWUF DI ZAMAN TABI’IN
Tabi’in adalah sebutan yang lazim bagi generasi yang hidup sesudah sahabat. Sedang angkatan berikutnya disebut tabi’ut tabi’in, kalau tasawuf di zaman sahabat hanya terlihat sebagai corak yang umum dan sederhana, sebagai konsekuensi aqidah, iman kepada Allah dan hari kemudian, maka tasawuf di zaman tabi’in dan tabi’ut tabi’in sudah mulai memperlihatkan diri dan identitasnya. Tokoh-tokoh tasawuf yang masyhur kala itu seperti : Hasan Al Bashri, Sufyan Al Tasauri, Uwais Al Qarni, Malik Ibnu Dinar, Ibrahim bin Adham dan lain-lain
Mereka itu perintis jalan dan di masa itu pula mereka menyebarluaskan ajarannya kepada khalayak ramai , sebagai konsekuensi logis terhadap kehidupan serba mewah yang berlebih-lebihan dan nilai-nilai agama yang dikesampingkan. Ajarannya lebih banyak dititik beratkan pada hikmah rahasianya.
Dan sebagai contoh yang dapat dikemukakan di sini tentang ibadah puasa yang oleh ahli sufi dibagi dalam tiga tingkat :
1. Puasa awam, sekedar menahan diri dari makan dan minum dan segalah yang membatalkan sejak fajar hingga metahari terbenam dengan segalah syarat seperti yang diterangkan dalam ilmu fiqih.
2. Puasa Khawwas, selain dengan cara tersebut di atas, maka seluruh anggota badan berpuasa juga dengan menahan berbuat maksiat, mengekang lidah dari kata-kata yang kurang baik dan keji, dusta, mengumpat serta memfitnah.
3. Puasa khawasul khawwas, disamping tersebut di atas juga membersihkan diri, mengikhlaskan diri, mensucihkan hati dari yang dapat merusak niat. Jika tujuan, harapan dan niat puasa berpaling dari selain Allah, maka dianggap puasanya sudah tidak berharga lagi.
Kalu ahli fiqih menilai suatu amalan ibadah dari segi syarat, hukum, sah dan batalnya atau semata-mata dari aspek kaidah-kaidah lahiriyahnya dengan dalil kitab, sunnah, ijma’ dan qiyas, maka ahli sufi menilainya dari perspektif hakikah (hakikat) dan hikmah disertai dengan dalil dan alasan yang kuat lagi shahih. Dan sekali-kali bukan berarti bahwa tasawuf mengada-adakan garis perbedaan dantara syariah dan hakikah. Atau istilah lain, syariah itu diperlukan bagi golongan awam dan hakikah bagi golongan khawwas.
Tapi pandangan itu berdasarkan kenyataan bahwa manusia tidak semua setingkat dalam keahlian, ilmu dan iman. Masing-masing tidak dapat menjangkau batas kemampuan dan kesanggupannya walaupun semua ilmu harus dipelajari dan setiap orang harus meningkatkan diri ketaraf yang lebih tinggi dengan tujuan akhir mema’rifati Allah SWT.
Adapun hakikat menurut bahasa adalah pecahan dari kalimat haq yang berarti benar atau kebenaran. Sedang menurut istilah ahli sufi, ilmu hakikat adalah ilmu untuk mencari kebenaran hakiki. Sedang haq itu tidak lain adalah Allah SWT, pokok dari kebenaran sejati.
Hakikat itu baru dapat dicapai sesudah orang memperoleh ma’rifat yang sebenarnya, yaitu pengetahuan yang meyakinkan kepada Allah baik namaNYA maupun sifatNYA.
Ahli sunnah mengemukakan atau mengartikan bahwa ma’rifat itu hanya dicapai dengan jalan sungguh-sungguh kepada Qur’an dan Sunnah. Atau dengan perkataan lain ma’rifat harus diperoleh dengan jalan dzouq (intuisi). Usaha-usaha luar yang hanya dapat bersandarkan kepada syar’i belum dapat menuju ma’rifat kalau jiwa tetap kotor dibelenggu oleh syahwat yang rendah. Hati masih tidak bersih dari niat yang kurang ikhlas.
Dengan demikian tidak ada perbedaan antara syariah dan hakikah melainkan seperti perbedaan antara kalimat dengan artinya. Keduanya saling eisi-mengisi seperti yang dilukiskan oleh seorang sufi : Syari’ah itu pohon dan hakikah itu buahnya.
Karena itu seseorang belum behak memperoleh gelar sufi sebelum mengenal syari’ah dengan lengkap dan sempurna, serta mengerti Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Ada suatu ungkapan yang agak sarkastis mengenai hal tersebut, bahwa betapa mereka yang mencoba mengarungi dunia kesufian ini, jika tidak dibekali dengan ilmu agama yang kuat (fiqih), maka akan menjerumuskannya jadi orang sekuler. Siapapun yang mencoba bersufi tanpa mengetahui ilmu inti (fiqih dan hukum), niscaya ia sia-sia dan jadi sekuler alias zindiq.
Imam Sahl Attusturi, tokoh tasawuf yang terkenal berkata : “prinsip-prinsip thariqah kami ada tujuh: memegang teguh kitabullah (Al-Qur’an), mengikuti As-Sunnah, makan santapan halal, menepis gangguan, menghindari maksiat, senantiasa dalam taubat dan berjalan dalam kebenaran” (Bersambung…)
Tabi’in adalah sebutan yang lazim bagi generasi yang hidup sesudah sahabat. Sedang angkatan berikutnya disebut tabi’ut tabi’in, kalau tasawuf di zaman sahabat hanya terlihat sebagai corak yang umum dan sederhana, sebagai konsekuensi aqidah, iman kepada Allah dan hari kemudian, maka tasawuf di zaman tabi’in dan tabi’ut tabi’in sudah mulai memperlihatkan diri dan identitasnya. Tokoh-tokoh tasawuf yang masyhur kala itu seperti : Hasan Al Bashri, Sufyan Al Tasauri, Uwais Al Qarni, Malik Ibnu Dinar, Ibrahim bin Adham dan lain-lain
Mereka itu perintis jalan dan di masa itu pula mereka menyebarluaskan ajarannya kepada khalayak ramai , sebagai konsekuensi logis terhadap kehidupan serba mewah yang berlebih-lebihan dan nilai-nilai agama yang dikesampingkan. Ajarannya lebih banyak dititik beratkan pada hikmah rahasianya.
Dan sebagai contoh yang dapat dikemukakan di sini tentang ibadah puasa yang oleh ahli sufi dibagi dalam tiga tingkat :
1. Puasa awam, sekedar menahan diri dari makan dan minum dan segalah yang membatalkan sejak fajar hingga metahari terbenam dengan segalah syarat seperti yang diterangkan dalam ilmu fiqih.
2. Puasa Khawwas, selain dengan cara tersebut di atas, maka seluruh anggota badan berpuasa juga dengan menahan berbuat maksiat, mengekang lidah dari kata-kata yang kurang baik dan keji, dusta, mengumpat serta memfitnah.
3. Puasa khawasul khawwas, disamping tersebut di atas juga membersihkan diri, mengikhlaskan diri, mensucihkan hati dari yang dapat merusak niat. Jika tujuan, harapan dan niat puasa berpaling dari selain Allah, maka dianggap puasanya sudah tidak berharga lagi.
Kalu ahli fiqih menilai suatu amalan ibadah dari segi syarat, hukum, sah dan batalnya atau semata-mata dari aspek kaidah-kaidah lahiriyahnya dengan dalil kitab, sunnah, ijma’ dan qiyas, maka ahli sufi menilainya dari perspektif hakikah (hakikat) dan hikmah disertai dengan dalil dan alasan yang kuat lagi shahih. Dan sekali-kali bukan berarti bahwa tasawuf mengada-adakan garis perbedaan dantara syariah dan hakikah. Atau istilah lain, syariah itu diperlukan bagi golongan awam dan hakikah bagi golongan khawwas.
Tapi pandangan itu berdasarkan kenyataan bahwa manusia tidak semua setingkat dalam keahlian, ilmu dan iman. Masing-masing tidak dapat menjangkau batas kemampuan dan kesanggupannya walaupun semua ilmu harus dipelajari dan setiap orang harus meningkatkan diri ketaraf yang lebih tinggi dengan tujuan akhir mema’rifati Allah SWT.
Adapun hakikat menurut bahasa adalah pecahan dari kalimat haq yang berarti benar atau kebenaran. Sedang menurut istilah ahli sufi, ilmu hakikat adalah ilmu untuk mencari kebenaran hakiki. Sedang haq itu tidak lain adalah Allah SWT, pokok dari kebenaran sejati.
Hakikat itu baru dapat dicapai sesudah orang memperoleh ma’rifat yang sebenarnya, yaitu pengetahuan yang meyakinkan kepada Allah baik namaNYA maupun sifatNYA.
Ahli sunnah mengemukakan atau mengartikan bahwa ma’rifat itu hanya dicapai dengan jalan sungguh-sungguh kepada Qur’an dan Sunnah. Atau dengan perkataan lain ma’rifat harus diperoleh dengan jalan dzouq (intuisi). Usaha-usaha luar yang hanya dapat bersandarkan kepada syar’i belum dapat menuju ma’rifat kalau jiwa tetap kotor dibelenggu oleh syahwat yang rendah. Hati masih tidak bersih dari niat yang kurang ikhlas.
Dengan demikian tidak ada perbedaan antara syariah dan hakikah melainkan seperti perbedaan antara kalimat dengan artinya. Keduanya saling eisi-mengisi seperti yang dilukiskan oleh seorang sufi : Syari’ah itu pohon dan hakikah itu buahnya.
Karena itu seseorang belum behak memperoleh gelar sufi sebelum mengenal syari’ah dengan lengkap dan sempurna, serta mengerti Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Ada suatu ungkapan yang agak sarkastis mengenai hal tersebut, bahwa betapa mereka yang mencoba mengarungi dunia kesufian ini, jika tidak dibekali dengan ilmu agama yang kuat (fiqih), maka akan menjerumuskannya jadi orang sekuler. Siapapun yang mencoba bersufi tanpa mengetahui ilmu inti (fiqih dan hukum), niscaya ia sia-sia dan jadi sekuler alias zindiq.
Imam Sahl Attusturi, tokoh tasawuf yang terkenal berkata : “prinsip-prinsip thariqah kami ada tujuh: memegang teguh kitabullah (Al-Qur’an), mengikuti As-Sunnah, makan santapan halal, menepis gangguan, menghindari maksiat, senantiasa dalam taubat dan berjalan dalam kebenaran” (Bersambung…)
ass. wr. wb....
BalasHapuswah postingan kamu membuat aq tahu sedikit masalah agama ku.....
makanya aq langganan karna aq suka isinya.....
jadi bahan bacaan aq jelang bobo...
makasih yah
Wa'alaikum salam Wr. Wb.
BalasHapusAlhamdulillah bisa bermanfaat, semoga Allah meridhoi dan memberikan rahmatNYA. Amin