RASULULLAH DAN KEHIDUPAN SUFI
Sebelum masa menjelang awal risalahnya, dengan asyik Rasulullah berkhalwat demi mengasingkan diri dari masyarakat ramai, hanyut dalam tafakkur dan renungan, menerawang alam tinggi. Makin hari bertambah kesucian jiwanya, kian meningkat kehidupan ruhani yang sedikitpun tidak dicampuri oleh kenikmatan dan kesenangan dunia. Cukup hanya dengan beberapa biji kurma, sekedar menahan rasa lapar dan dahaga, karena segenap jiwa dan hati nuraninya tertumpah kepada apa yang dibalik alam syahadah ini, membumbung tinggi menjelajahi alam malakut.
Dan setelah beliau bangkit menjadi utusan Allah, maka kehidupan sufi itu tetap menjadi corak dan ciri khasnya, yaitu : zuhud, wara’, muraqobah dan tekun beribadah, semua itu jelas terlihat baik dalam kehidupan beliau dalam rumah tangganya maupun dalam masyarakaat dan pergaulan bersama.
Renungkanlah beberapa hadits di bawah ini :
“Demi Allah, kalau kalian mengetahui apa yang aku ketahui niscaya kalian tertawa sedikit, dan akan menangis sebanyak-banyaknya dan sejak kamu keluar menuju dataran tinggi berseru dengan suara melolong.” (HR. Attirmidzi)
Diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. bahwa Rasulullah SAW tegak berdiri shalat malam sehingga bengkak kedua telapak kakinya. ‘Aisyah bertanya kepadanya : “Mengapa anda berbuat begitu rupa, sedangkan Allah telah mengampuni segalah dosa Anda yang telah lalu maupun yang akan datang.” Maka beliau menjawab : “Tidakkah patut aku menjadi hamba yang bersyukur kepada-Nya.” (HR. Bukhari Muslim)
‘Umar bin Khattab r.a. pernah masuk menemui Rasulullah SAW maka dilihat olehnya : beliau sedang berbaring di atas sebuah tikar hingga membekas pada pinggangnya. Maka ‘Umar pun terharu seraya menangis. Maka Rasulullah SAW bertanya : “Apa yang kau tangiskan hai ‘Umar? ‘Umar pun menjawab : “Saya melihat Raja Romawi dan Parsi bergelimang dalam pakaian yang serba sutera, sedangkan Anda di atas tikar biasa.” Maka maralah beliau dan berkata : “Apakah engkau menyukai cara hidup kekaisaran (seperti Romawi dan Parsi) hai ‘Umar!” (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim dan Ibnu Hibban)
Diriwayatkan oleh ‘Urwah dari ‘Aisyah r.a. bahwa ummul Mukminin pernah berkata kepadanya : “Demi Allah wahai kemenakan saya. Saya kadang menyaksikan bulan sabit naik tiga kali, dan saya tidak melihat nyala api sama sekali (artinya : tidak ada orang memasak) di dalam rumah tangga Rasulillah SAW. Maka saya (‘Urwah) berkata : “Hai Bibi saya, apakah gerangan yang Anda santap (bersama Nabi SAW)?” Maka dijawabnya : “Kami hanya makan dua hitam (air dan kurma).” (HR. Bukhari Muslim)
Hadits-hadits Rasulullah SAW yang berupa sunnah amaliyah dan qauliyah yang bernafaskan tasawuf itulah yang menjadi pegangan al-‘Arifin Billah atau dengan kata lain : iman kepada Allah pokok pangkal dan titik tolak ajaran tasawuf. Taqwa kepada Allah sebagai jalan, qur’an dan Sunnah sebagai sumber kehidupan, Rasulullah menjadi suri tauladan.
Dari kandungan islam, tasawuf lahir dan berkembang, dan di bawah naungannya hidup dengan subur sebagai aliran. Oleh karena itu tasawuf bukan plagiat dari Barat dan Timur. Dan kalaupun orang menyanggah tasawuf dengan dalil yang sempit, hanya karena kalimat tasawuf tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka hendaknya orang mengetahui bahwa tasawuf adalah cara atau wasilah, bukan tujuan atau ghayah.
Baik buruknya cara/wasilah itu bergantung kepada maksud tujuan yang hendak dicapai.
(bersambung...)
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar