PERKEMBANGAN TASAWUF ISLAM
Dari uraian terdahulu kiranya sudah jelas, bahwa tasawuf bukan jiplakan atau saduran dari luar baik hindu, nasrani ataupun neplatonisme. Dan kalaupun ada ajaran lain yang menyusup masuk, seperti Al Hulul dan Wihdatul Wujud yang jelas sangat bertentangan dengan tauhid sebagai pokok pangkal dan titik tolak dari tasawuf Islam. Dan sudah pula dibantah dengan kerasnya oleh para ahli-ahli sufi itu sendiri.
Sementara itu karena pergeseran masa dan pergantian waktu, sufisme mengalami perkembangannya. Apalagi daerah kekuasaan Islam kian luas dengan hasil yang melimpah ruah, kehidupan dalam istana kian mencolok dan menimbulkan kesenjangan di mata rakyat, mungkar dan maksiat dilakukan di sana-sini secara terang-terangan. Sedang semua mulut dibungkam dan ditiadakan, kekerasan digelar demi kelanggengan kekuasaan menumpas siapa saja yang mencoba melawan dan berani menggugat atau beroposisi.
Dalam suasana yang demikian keras itu ahli sufi bergerak, memilih jalan dan dengan caranya sendiri dengan aasyiknya mereka masuk menghimpun kelompok (haloqoh) tampil sebagai wu’adz mengajak khalayak ramai kembali ke jalan Allah, sambil kader-kader mereka digembleng keuletan dan keikhlasannya.
Mereka memilih forum dan bergerak di tengah rakyat menantang arus yang kian deras dalam batas kesanggupan dan kemampuan yang ada. Dan di sengat udara gelap meliputi ‘alam islami, kezaliman, kolusi, birokrasi, manipulasi dan korupsi merajalela dimana-mana. Tiba-tiba muncul dari tengah-tengah keluarga Umayyah itu sendiri dan di luar dugaan dan perhitungan siapapun, seorang khalifah muda yang tampil memegang pimpinan.
Kemudian ia hanya ingat kepada Allah, dan lupa kepada diri sendiri dan mendadak sontak mengubah haluan dan dengan sekuat tenaga berusaha menyelamatkan ummat yang nyaris tenggelam.
Dialah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz, seorang sufi yang ketika mewarisi tahta sebagai khalifah segera menukar corak pemerintahannya sedemikian rupa. Dan corak pemerintahan yang sudah berwarna kisraniyah berubah kembali kepada khittah khulafaur rasyidin. Telah berhasil menggerakkan kembali semangat Islam yang sudah hampir layu dan sudah lama dikotori oleh nenek moyangnya selama bertahun-tahun. Mereka telah mencoreng sejarah hitam dengan mengumbar kekuasaan dan lupa daratan di zaman tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang biasa disebut khairul qurun.
Tasawuf sebagai aliran mulai tumbuh berakar, tiap kelompok diasuh dan dibimbing oleh mursyid dan tersebar di serluruh pelosok desa dan kota.
‘Ali Zainal ‘Abidin (Madinah), Hasan Al Basri (Basrah), Sa’id bin Al Musayyab (Baghdad), Ibrahim bin Adham (Khurasan), dan dari zaman ke zaman tasawuf berkembang meluasd merebut hati rakyat banyak. Dan tasawuf akan tetap hidup, sebab yang hendak dicapai adalah tujuan hidup yang sejalan dengan fitrah manusia.
Adakah Rasulullah SAW yang hidup ditengah-tengah para sahabat Muhajirin dan Anshar dengan segala kesetiaan mereka kepadanya. Dan apakah Rasulullah terutama pada pasxa era Madinah, dimana kehidupan kaum muslimin sudah jauh berbeda dan makin baik. Sehingga kedudukan beliau selaku pengemban ummat dengan mudahnya dapat memperoleh apapun yang dikehendaki. Bukankah cara hidup Rasulullah yang demikian sederhana dan meninggalkan kelezatan dan kenikmatan hidup walaupun Allah menghalalkan baginya? Apa arti semua itu? Bukankah ini zuhud dalam arti yang hakiki! Bukankah ini adalah aktivitas tasawuf. (Bersambung...)
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar