Sejarah masuknya islam ke Nusantara atau negeri-negeri Melayu hingga sekarang terdapat dua versi. Versi pertama mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara dari tanah Arab sejak abad Pertama Hijriyah ( 1H ) atau abad ketujuh Masehi ( 7M ). Versi kedua mengatakan bahwa Islam masuk Nusantara dari Gujarat, India pada abad ketigabelas Masehi (13M) atau abad ketujuh Hijriyah (7H).
Bagi kebanyakan orang barangkali perbedaan versi dari mana dan kapan masuknya Islam ke Nusantara tidaklah dianggap penting. Namun dari perspektif al-ghazwul fikri (perang pemikiran/ideologi), hal ini sangat mendasar. Mengapa ? Karena bila versi pertama diterima, maka orang akan mudah dibangun opininya bahwa Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang sejak awal mengandung kemurnian karena dibawah dan diperkenalkan ke negeri ini oleh pihak “tangan pertama” yang menerima langsung dari Rasulullah Muhammad SAW. Artinya, Islam yang berkembang di Negeri ini merupakan Islam yang berlisensi sejak hari pertama kedatangannya. Sedangkan bila versi kedua yang diterima dan disepakati sebagai fakta sejarah, berarti masyarakat akan terbentuk opininya bahwa Islam di Indonesia merupakan Islam yang datang dan dibawah oleh pihak “tangan kedua”. Dan itu berarti Islam yang ada di Indonesia merupakan Islam yang berbeda dari Islam di negeri asalnya, Makkah dan Madinah. Dan bahkan boleh jadi Islam di Indonesia merupakan Islam yang sudah tidak murni dan telah banyak mengalami kontaminasi nilai, terutama nilai kemusyrikan Hindu dari India.
Dalam bukunya “Sejarah Umat Islam”, Buya Hamka menulis : “Telah sama diketahui dari dua buah catatan penting orang Tionghua itu, bahwasannya di abad pertama dari Islam (1H) atau abad ketujuh Masehi (7M), orang Arab telah datang ke tanah Jawa pada tahun 674-675M, dan telah mendirikan kampung di pantai Sumatra Barat pada tahun 684M. Yang pertama ialah pada tahun 52H pada zaman pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abu Sufyan, pendiri kerajaan bani Umaiyah dan yang kedua pada tahun 62H pada zaman pemerintahan Khalifah Bani Umaiyah kelima, Abdul Malik bin Marwan. Yang menarik dari Buku Buya Hamka tersebut adalah pembagian Zaman pertumbuhan dan perkembangan agama Islam di negeri-negeri Melayu dari abad ke abad sejak dari abad yang pertama Hijriyah (1H) atau pertengahan abad ketujuh Masehi (7M) hingga abad keempatbelas Hijriyah (14H) atau abad keduapuluh Masehi (20M).
Dengan sangat bagusnya Buya Hamka menguraikan bahwa awalnya para saudagar dan pernah juga utusan dari umat Islam yang berintikan bangsa Arab telah datang berbondong-bondong ke negeri-negeri Melayu. Ada yang singgah saja dan ada yang menetap sehingga mereka mendirikan perkampungan-perkampungan kecil supaya mereka tidak terganggu mengerjakan agama mereka. Dengan amat perlahan orang-orang Islam dari luar negeri itu menjadi penduduk negeri yang didiaminya karena perkawinan mereka dengan perempuan anak negeri.
Selain dengan mulai menurunnya eksistensi Kerajaan Budha dan Hindu, maka mulailah berdiri Kerajaan Islam di Nusantara. Diawali dengan Samudera Pasai di Aceh. Lalu kerajaan Islam di Malaka menyambung kebesaran Pasai. Kemudian Kerajaan Malaka jatuh karena datangnya penjajahan Barat (Portugis). Tetapi karena umat Islam telah tersebar dan telah mulai berpengaruh dalam masyarakat, maka segeralah berdiri Kerajaan Islam di Aceh Pidir, Demak dan Banten dan sambung Malaka, yaitu Johor.
Sesudah bertarung dengan Portugis dan Spanyol, Islam mulai bertarung dengan penjajahan Barat gelombang kedua, yaitu Belanda dan Inggris. Menghadapi keduanya perjuangan menjadi lebih hebat dalam merebut tanah air sendiri. Kekuasaan Kerajaan Islam mulai menurun tapi kaum ulama tetap mempelopori kebesaran Islam. Di abad kedelapanbelas dan kesembilanbelas timbullah pahlawan Islam baik dari kalangan bangsawan atau dari kalangan ulama. Pada zaman inilah muncul nama-nama besar seperti Tuanku Imam Bonjol dan Pengeran Diponegoro. Pada pertengahan abad keduapuluh, negeri-negeri Islam merasakan kebangkitan baru dari Islam, dengan masuknya paham-paham yang diajarkan oleh kaum Wahabi dan dipermoderen lagi oleh Sayyid Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Pada zaman itu tercatat nama-nama yang mengharumkan sejarah penyebaran Islam Haji Abdul Karim Amrullah, Muhammad Jamil Jambek dan Haji Abdullah Ahmad Padang. Di Jawa timbullah kebangkitan kesadaran politik yang dipelopori oleh Islam, dipimpin oleh Haji Samanhudi, HOS Cokroaminoto, Haji Agus Salim dan Abdul Muis. Dan timbul kebangkitan pembaruan paham agama yang dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah dan Syeikh Ahmad Soorkati dengan mendirikan perkumpulan Al-Irsyad. Semua ini kemudian mencapai klimaksnya dengan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda pada tahun 1945. Sedangkan Semenanjung tanah Melayu meraih kemerdekaan dari penjajahan Inggris pada tahun 1967
Ibroh apakah yang bisa kita tarik dari ringkasan sejarah panjang masuknya Islam ke Nusantara? Nyata benar bahwa kehadiran umat islam tidak pernah sepi dari upaya mengajak masyarakat yang ada disekitar dirinya untuk memeluk agama Allah. Kedatangan orang Islam baik dari Arab, Persia, India bahkan China (Laksamana Cheng Ho misalnya) jelas memperlihatkan satu benang merah, yaitu aktivitas Da’wah Islamiyah.
Apakah ia seorang saudagar, ulama atau utusan resmi khalifah atau raja, maka semuanya memiliki kesadaran dan semangat yang menyala-nyala untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan jahiliyah kepada cahaya Islam.
Maka sesudah resmi kawasan Nusantara meraih kemerdekaan dari rangkaian penjajahan kafir Inggris, Spanyol, Portugis, Belanda dan Jepang, adakah umat Islam tetap meneruskan semangat Da’wah dan Jihad Islam? Hal lain yang juga kita catat adalah bahwa pada masa lalu saat umat Islam mulai memperkenalkan Islam di negeri-negeri Melayu, sungguh mereka sangat dinamis bergerak keberbagai penjuru dunia tanpa merasa disekat oleh batas-batas geografis berbekal semangat da’wah dan jihad mengibarkan panji Islam.
Namun sesudah dunia memasuki era moderen dengan sistem nation-state (Negara Kebangsaan), terasa sekali bahwa sekat-sekat formal suatu bangsa dan Negara seolah membatasi ruang gerak da’wah dan jihad umat Islam. Sehingga muncullah semacam kesepakatan tidak tertulis dan tentunya mengada-mengada (baca: bid’ah) bahwa umat Islam Indonesia hanya mengurus bangsa Indonesia. Umat Islam Malaysia hanya mengurus bangsa Malaysia. Umat Islam Brunei hanya mengurus bangsa Brunei.
Seolah terjadi pengkotakan berdasarkan bangsa yang membatasi ruang gerak da’wah dan jihad umat Islam. Bahkan paham Nasionalisme yang semula hanya dijadikan batu loncatan untuk mengusir penjajah asing kafir malah diadopsi menjadi salah satu ideologi yang selanjutnya dipelihara lalu dibanggakan. Umat Islam perlu melakukan “kebangkitan kedua” setelah dahulu melakukan “kebangkitan pertama” sebatas membebaskan diri dari penjajahan formal asing. Adapun “kebangkitan kedua” ialah upaya membebaskan diri dari segenap paham dan ideologi asing selain Islam. Termasuk dari paham fanatisme kelompok yang disebut dengan Nasionalisme. Sebab betapapun Nabi Muhammad SAW mencintai kampung halamannya Makkah, namun demi tegaknya panji agama Allah beliau rela hijrah meninggalkannya menuju Madinah hingga meraih kejayaan, wafat dan dikebumikan di sana. Wallahua’lam bish-showwab.
Bagi kebanyakan orang barangkali perbedaan versi dari mana dan kapan masuknya Islam ke Nusantara tidaklah dianggap penting. Namun dari perspektif al-ghazwul fikri (perang pemikiran/ideologi), hal ini sangat mendasar. Mengapa ? Karena bila versi pertama diterima, maka orang akan mudah dibangun opininya bahwa Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang sejak awal mengandung kemurnian karena dibawah dan diperkenalkan ke negeri ini oleh pihak “tangan pertama” yang menerima langsung dari Rasulullah Muhammad SAW. Artinya, Islam yang berkembang di Negeri ini merupakan Islam yang berlisensi sejak hari pertama kedatangannya. Sedangkan bila versi kedua yang diterima dan disepakati sebagai fakta sejarah, berarti masyarakat akan terbentuk opininya bahwa Islam di Indonesia merupakan Islam yang datang dan dibawah oleh pihak “tangan kedua”. Dan itu berarti Islam yang ada di Indonesia merupakan Islam yang berbeda dari Islam di negeri asalnya, Makkah dan Madinah. Dan bahkan boleh jadi Islam di Indonesia merupakan Islam yang sudah tidak murni dan telah banyak mengalami kontaminasi nilai, terutama nilai kemusyrikan Hindu dari India.
Dalam bukunya “Sejarah Umat Islam”, Buya Hamka menulis : “Telah sama diketahui dari dua buah catatan penting orang Tionghua itu, bahwasannya di abad pertama dari Islam (1H) atau abad ketujuh Masehi (7M), orang Arab telah datang ke tanah Jawa pada tahun 674-675M, dan telah mendirikan kampung di pantai Sumatra Barat pada tahun 684M. Yang pertama ialah pada tahun 52H pada zaman pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abu Sufyan, pendiri kerajaan bani Umaiyah dan yang kedua pada tahun 62H pada zaman pemerintahan Khalifah Bani Umaiyah kelima, Abdul Malik bin Marwan. Yang menarik dari Buku Buya Hamka tersebut adalah pembagian Zaman pertumbuhan dan perkembangan agama Islam di negeri-negeri Melayu dari abad ke abad sejak dari abad yang pertama Hijriyah (1H) atau pertengahan abad ketujuh Masehi (7M) hingga abad keempatbelas Hijriyah (14H) atau abad keduapuluh Masehi (20M).
Dengan sangat bagusnya Buya Hamka menguraikan bahwa awalnya para saudagar dan pernah juga utusan dari umat Islam yang berintikan bangsa Arab telah datang berbondong-bondong ke negeri-negeri Melayu. Ada yang singgah saja dan ada yang menetap sehingga mereka mendirikan perkampungan-perkampungan kecil supaya mereka tidak terganggu mengerjakan agama mereka. Dengan amat perlahan orang-orang Islam dari luar negeri itu menjadi penduduk negeri yang didiaminya karena perkawinan mereka dengan perempuan anak negeri.
Selain dengan mulai menurunnya eksistensi Kerajaan Budha dan Hindu, maka mulailah berdiri Kerajaan Islam di Nusantara. Diawali dengan Samudera Pasai di Aceh. Lalu kerajaan Islam di Malaka menyambung kebesaran Pasai. Kemudian Kerajaan Malaka jatuh karena datangnya penjajahan Barat (Portugis). Tetapi karena umat Islam telah tersebar dan telah mulai berpengaruh dalam masyarakat, maka segeralah berdiri Kerajaan Islam di Aceh Pidir, Demak dan Banten dan sambung Malaka, yaitu Johor.
Sesudah bertarung dengan Portugis dan Spanyol, Islam mulai bertarung dengan penjajahan Barat gelombang kedua, yaitu Belanda dan Inggris. Menghadapi keduanya perjuangan menjadi lebih hebat dalam merebut tanah air sendiri. Kekuasaan Kerajaan Islam mulai menurun tapi kaum ulama tetap mempelopori kebesaran Islam. Di abad kedelapanbelas dan kesembilanbelas timbullah pahlawan Islam baik dari kalangan bangsawan atau dari kalangan ulama. Pada zaman inilah muncul nama-nama besar seperti Tuanku Imam Bonjol dan Pengeran Diponegoro. Pada pertengahan abad keduapuluh, negeri-negeri Islam merasakan kebangkitan baru dari Islam, dengan masuknya paham-paham yang diajarkan oleh kaum Wahabi dan dipermoderen lagi oleh Sayyid Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Pada zaman itu tercatat nama-nama yang mengharumkan sejarah penyebaran Islam Haji Abdul Karim Amrullah, Muhammad Jamil Jambek dan Haji Abdullah Ahmad Padang. Di Jawa timbullah kebangkitan kesadaran politik yang dipelopori oleh Islam, dipimpin oleh Haji Samanhudi, HOS Cokroaminoto, Haji Agus Salim dan Abdul Muis. Dan timbul kebangkitan pembaruan paham agama yang dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah dan Syeikh Ahmad Soorkati dengan mendirikan perkumpulan Al-Irsyad. Semua ini kemudian mencapai klimaksnya dengan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda pada tahun 1945. Sedangkan Semenanjung tanah Melayu meraih kemerdekaan dari penjajahan Inggris pada tahun 1967
Ibroh apakah yang bisa kita tarik dari ringkasan sejarah panjang masuknya Islam ke Nusantara? Nyata benar bahwa kehadiran umat islam tidak pernah sepi dari upaya mengajak masyarakat yang ada disekitar dirinya untuk memeluk agama Allah. Kedatangan orang Islam baik dari Arab, Persia, India bahkan China (Laksamana Cheng Ho misalnya) jelas memperlihatkan satu benang merah, yaitu aktivitas Da’wah Islamiyah.
Apakah ia seorang saudagar, ulama atau utusan resmi khalifah atau raja, maka semuanya memiliki kesadaran dan semangat yang menyala-nyala untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan jahiliyah kepada cahaya Islam.
Maka sesudah resmi kawasan Nusantara meraih kemerdekaan dari rangkaian penjajahan kafir Inggris, Spanyol, Portugis, Belanda dan Jepang, adakah umat Islam tetap meneruskan semangat Da’wah dan Jihad Islam? Hal lain yang juga kita catat adalah bahwa pada masa lalu saat umat Islam mulai memperkenalkan Islam di negeri-negeri Melayu, sungguh mereka sangat dinamis bergerak keberbagai penjuru dunia tanpa merasa disekat oleh batas-batas geografis berbekal semangat da’wah dan jihad mengibarkan panji Islam.
Namun sesudah dunia memasuki era moderen dengan sistem nation-state (Negara Kebangsaan), terasa sekali bahwa sekat-sekat formal suatu bangsa dan Negara seolah membatasi ruang gerak da’wah dan jihad umat Islam. Sehingga muncullah semacam kesepakatan tidak tertulis dan tentunya mengada-mengada (baca: bid’ah) bahwa umat Islam Indonesia hanya mengurus bangsa Indonesia. Umat Islam Malaysia hanya mengurus bangsa Malaysia. Umat Islam Brunei hanya mengurus bangsa Brunei.
Seolah terjadi pengkotakan berdasarkan bangsa yang membatasi ruang gerak da’wah dan jihad umat Islam. Bahkan paham Nasionalisme yang semula hanya dijadikan batu loncatan untuk mengusir penjajah asing kafir malah diadopsi menjadi salah satu ideologi yang selanjutnya dipelihara lalu dibanggakan. Umat Islam perlu melakukan “kebangkitan kedua” setelah dahulu melakukan “kebangkitan pertama” sebatas membebaskan diri dari penjajahan formal asing. Adapun “kebangkitan kedua” ialah upaya membebaskan diri dari segenap paham dan ideologi asing selain Islam. Termasuk dari paham fanatisme kelompok yang disebut dengan Nasionalisme. Sebab betapapun Nabi Muhammad SAW mencintai kampung halamannya Makkah, namun demi tegaknya panji agama Allah beliau rela hijrah meninggalkannya menuju Madinah hingga meraih kejayaan, wafat dan dikebumikan di sana. Wallahua’lam bish-showwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar